Agnostik dan Islam (adapted from Apakah Agnostik itu?)
Apakah orang agnostik itu Atheis?
Tidak. Seorang atheis, seperti halnya penganut Islam, mempercayai bahwa ia dapat mengetahui ada atau tidak adanya Tuhan /Allah. Penganut Islam mengatakan bahwa ia dapat mengetahui Tuhan itu ada; kaum atheis menyatakan bahwa kita dapat mengtahui bahwa Tuhan itu tidak ada. Orang agnostik menunda pengambilan keputusan, dengan menyatakan bahwa tidak cukup bukti untuk menegaskan atau menolak adanya Tuhan/Allah. Pada saat bersamaan, orang agnostik mungkin mengatakan bahwa eksistensi Allah meskipun bukan tidak mungkin, sangat kecil kemungkinan adanya; ia mungkin menyatakan begitu kecil kemungkinan adanya Allah, maka Allah pada kenyataannya tidak cukup bermakna untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan. Dalam hal demikian, Allah disingkirkan tak jauh berbeda seperti dalam atheisme. Sikapnya adalah mirip seperti filsuf yang teliti terhadap dewa-dewa Yunani Kuno. Apabila saya disuruh membuktikan bahwa Zeus dan Poseidon dan Hera dan dewa-dewi Olympia lainnya tidak ada, maka saya pasti kebingungan dalam memberikan argumen yang memadai. Orang agnostik akan berpendapat bahwa Allah atau Tuhan orang Islam sama kecil dengan kemungkinan adanya dengan dewa-dewi Olympia; dalam hal demikian, untuk mudahnya ia dianggap sama dengan orang atheis.
Oleh karena Anda menolak “hukum Allah”, otoritas apa yang Anda terima sebagai pedoman hidup?
Orang agnostik tidak menerima “otoritas” apapun sebagai mana halnya yang diterima oleh orang beragama. Dipercayai bahwa orang harus memikirkan sendiri masalah pedoman hidup. Tentu saja, ia akan mengambil keuntungan dari pengalaman orang lain, tetapi harus dipilihnya sendiri orang-orang yang dianggapnya bijak, dan sama sekali tidak akan menganggap bahwa apapun yang dikatakannya tak boleh dibantah. Teramati bahwa apa yang ditentukan oleh “Hukum Allah” itu selalu berubah setiap saat. Al Qur’an mengatakan bahwa seorang laki-laki boleh kawin dengan empat orang perempuan sebagai istri. Akan tetapi Muhammad sendiri yang mengklaim dirinya sebagai utusan Allah beristri lebih dari 4 orang. Dikatakan dalam surat Al Kafirun bahwa “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” yang berarti tidak ada paksaan untuk mempercayai Islam dan sebagaimana dikuatkan lagi dengan ayat-ayat lain: “Laa Iqraha fi d diin” yang berarti “tidak ada paksaan dalam agama”, namun dalam ayat-ayat lain pernyataan-pernyataan tersebut ditetentangnya sendiri. Dalam ayat yang lain Al Qur’an memerintahkan... BUNUHLAH orang kafir (non Islam) itu di mana saja kamu jumpai mereka. Anggapan yang menyamakan semua manusia sama dan sederajat dianggap salah kecuali jika sama agamanya. Bahkan dalam QS al-Anfal 8:85 kaum kafir disebut sebagai syarr al-dawâb atau seburuk-buruknya binatang. (Website Hizbut Tahrir Ind), Orang non-Islam itu najis (kotor) (Surah 9 ayat 5), maka logikanya “hukum Allah” mana yang Anda pakai dan terapkan?
Bagaimana Anda mengetahui baik dan buruk? Apakah yang dianggap Dosa oleh orang agnostik?
Orang agnostik tidak begitu pasti sebagaimana yang diyakini penganut Islam terhadap apa yang disebut baik dan buruk. Tidak akan diklaim seperti yang diklaim penganut Islam di masa lalu bahwa orang yang tak setuju dengan perintah mengenai keimanan Tauhid yang absurd harus menerima hukum mati yang menyakitkan. Memang apa jahatnya jika dalam hati seseorang percaya akan adanya beberapa ‘Tuhan’, toh sama-sama belum ada yang pernah membuktikan bahwa tuhan ataupun Allah itu ada/eksis, dan berapa jumlahnya. Hukum mati atau penyiksaan demikian ditentang, dan ia lebih hati-hati mengenai tuduhan moral.
Kata “dosa” dianggap bukan sebagai ide yang ada gunannya. Tentu saja diakui bahwa sebagian macam tindakan adalah patut dan sebagian lagi tidak patut, tapi diyakini bahwa hukuman untuk tindakan yang tidak patut hanya diterapkan jika dimaksudkan untuk menghindari atau memperbaiki, bukan karena hukuman itu memang dianggap baik dan dengan pikiran bahwa orang jahat harus menderita. Kepercayaan inilah yang ada dalam hukuman balas dendam sehingga orang menerima idee neraka. Ini adalah bagian merugikan yang telah diakibatkan oleh adanya ide “dosa”.
Apakah orang agnostik melakukan apapun asal dikehendakinya?
Dalam satu hal tidak, dilain hal siapapun akan melakukan apa yang dikehendakinya. Kalau misalnya Anda begitu membenci seseorang sampai Anda mau membunuhnya: Kenapa tidak? Anda akan menjawab: “Sebab agama mengatakan bahwa pembunuhan adalah dosa.” Namun dalam kenyataan statistik, orang-orang agnostik tidak lebih cenderung melakukan pembunuhan dari pada orang lain, dan kenyataannya kecenderungan mereka memang lebih kecil. Mereka mempunyai motif sama untuk tidak melakukan pembunuhan sebagaimana orang lain. Jauh dalam lubuk hatinya, motif paling kuat adalah takut dihukum. Namun dalam keadaan tanpa hukum, seperti demam menambang emas, segala macam orang akan melakukan kejahatan, meski dalam keadaan normal mereka adalah orang-orang yang taat pada hukum. Bukan hanya karena adanya hukuman, tapi juga ada rasa tidak nyaman mengetahui hal menakutkan itu, dan rasa sepi karena mengetahuinya, untuk menghindari kebencian orang, anda harus memakai topeng meski dengan teman terdekat anda sekalipun. dan dan ada lagi yang sering disebut “conscience” atau suara hati: Jika anda pernah berangan-angan untuk membunuh, anda akan takut pada ingatan yang mengerikan saat-saat terakhir tubuh korban anda tak bernyawa. Semua ini benar, ya, tergantung pada kehidupan anda dalam masyarakat yang taat hukum, tetapi banyak sekali alasan-alasar non agama/sekuler yang dipakai untuk menciptakan dan mengabadikan masyarakat demikian.
Saya katakan ada alasan lain mengapa siapapun akan melakukan apa yang diinginkannya. Tak seorangpun kecuali orang tolol yang menuruti segala keinginan, tetapi apa yang menahan keinginan dalam hati adalah selalu merupakan keinginan yang lain. Keinginan anti-sosial seseorang dapat dikendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan Allah, tapi dapat juga dikendalikan oleh keinginan untuk menyenangkan teman-temannya, atau mendapatkan respek penghormatan dari masyarakatnya, atau agar dapat mencitrakan dirinya sendiri tanpa rasa jijik. Namun jika tak memiliki keinginan-2 tersebut, maka satu-2 nya aturan abstrak moralitas tak akan dapat meluruskan orang itu.
Bagaimanakah anggapan orang agnostik terhadap Al-Qur’an?
Orang agnostik menganggap Qur’an tepat sebagaimana Babad Tanah Jawa atau Kitab Pararaton menurut anggapan seorang sejarawan. Tidak dianggapnya sebagai inspirasi illahi; akan dianggapnya sebagai legenda sejarah awal, dan tak lebih akurat dari pada yang tertulis dalam Homer; dianggapnya ajaran moral yang terkandung didalamnya kadang baik, tapi kadang sangat buruk. Misalnya, Quran memerintahkan Muslim untuk membunuh orang yang tidak percaya, dimana saja mereka ditemukan (Q2:191), memperlakukan mereka dengan kasar (Q9:123), sembelih mereka (9:5), memerangi mereka (8:65), menentang mereka dengan segala kemampuan (25:52), memperlakukan mereka dengan kekerasan karena tempat mereka di neraka (66:9) dan hajar kepala mereka; kemudian setelah membunuh banyak diantara mereka, sisa tawanan bisa ditukar dengan imbalan (47:4)
Saya tak pernah mampu menyenangi nabi Muhammad karena membunuhi orang-orang yang mengolok-oloknya, Saya juga tak mempercayai bahwa bumi ini tercipta sebagai hamparan/datar (tidak percaya kepada Firman Allah/Qur’an).
Bagaimanakah anggapan orang agnostik terhadap Muhammad, Malaikat, dan Tauhid/Kemaha-tunggalan Allah?
Karena orang agnostik tidak percaya Allah, tak dapat dipercayai bahwa Muhammad adalah utusan/suruhan Allah. Saya tidak tahu apakah orang-orang agnostik menghargai kehidupan dan ajaran Muhammad sebagaimana ditulis dalam Qur’an dan Hadits, tetapi toh jika ada yang dihargainya hal itu tidak harus melebihi penghargaan terhadap orang lain. Ada yang menempatkan Muhammad sama dengan sang Buddha, sebagian dengan Socrates dan dan lainnya dengan Abraham Lincoln. Namun sepengetahuan saya, kini Muhammad semakin rendah kedudukannya. Orang agnostik juga tidak menganggap apa-apa yang dikatakannya tidak boleh dibantah, oleh karena orang Agnostik tidak menerima suatu otoritas sebagai hal yang absolute. Orang Aganostik menganggap Malaikat, iblis, setan, jin atau bidadari sebagai satu kepercayaan yang diambil dari mitologi Kristianitas dan Judaisme/kafir, dimana makhluk-makhluk demikian bukan hal yang aneh (ada dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu, Cina, Jepang, Mesir, Yunani dll.). Orang Aganostik tak dapat memberikan kepercayaannya kepada hal tersebut, ataupun kepada doktrin Tauhid, karena kedua kepercayaan tsb tidak mungkin tanpa adanya kepercayaan pada tuhan.
Dapatkah orang agnostik menjadi penganut Islam?
Kata “ Islam” mempunyai berbagai makna dalam waktu yang berbeda. Selama berabad-abad sejak jaman Muhammad, kata itu berarti orang yang percaya kepada Allah dan keabadian dan serta bahwa Muhammad adalah suruhan Allah yang terakhir. Tetapi kaum Ahmadiah menyebut diri mereka penganut Islam masih mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad juga seorang suruhan Allah/Tuhan. Banyak orang yang sekarang mempercayai Allah sebagai penguasa Alam atau kekuatan yang kecenderungannya tidak mempunyai belas kasihan. Lebih jauh lagi, orang lain mengartikan “Islam” hanyalah sebuah ideologi politik Arabisasi yang ekspansionis dan harus dihentikan.
Jika yang Anda maksudkan “Penganut Islam” berarti orang yang mencintai tetangganya, yang sangat bersimpati terhadap penderitaan, dan yang sangat menginginkan agar dunia bebas dari kebuasan dan kebencian yang jaman sekarang ini diabaikan, maka jelas Anda mendapat justifikasi dan boleh dengan keyakinan untuk menyebut saya seorang Islam. Dan dalam hal ini, saya kira anda akan dapat menemukan lebih banyak “penganut Islam” diantara orang-orang agnostik dibandingkan dalam kalangan Islam. Namun menurut saya, Saya tak dapat menerima definisi demikian. Selain penolakan lainnya, nampaknya agak kasar bagi orang Yahudi, Buddhis, Kristen, penganut non Islam lainnya, sepanjang yang ditunjukkan oleh sejarah, paling tidak cenderung untuk membanggakan moralitas yang diklaim dengan arogan oleh ulama Islam sebagai unik milik agama mereka sediri.
Saya kira juga bahwa siapapun yang menyebut diri penganut Islam dari jaman dulu, dan sebagian besar orang yang melakukannya sampai saat ini, akan menganggap bahwa kepercayaan pada Allah, keabadian dan rasulNya adalah essensial bagi penganut Islam. Dengan dasar ini, saya menyebut saya sendiri sebagai bukan penganut Islam, harus saya katakan bahwa orang agnostik tak dapat menjadi penganut Islam. Namun jika kata “Islam/Mukminin” ternyata digunakan secara umum yang berarti sejenis moralitas yang baik, maka jelaslah sangat mungkin bagi seorang agnostik untuk menjadi penganut Islam.
Apakah Orang agnostik menolak bahwa manusia punya Jiwa?
Pertanyaan ini tidak mempunyai arti yang tepat kecuali kita diberi definisi sari kata “jiwa”. Saya kira yang dimaksudkan secara kasar adalah sesuatu nonmaterial yang berada dalam seluruh hidup seseorang bahkan, bagi yang mempercayai immoralitas, sepanjang waktu-waktu yang akan datang. Jika yang begitu maksudnya maka orang agnostik mungkin tidak akan percaya bahwa manusia mempunyai jiwa. Tetapi akan segera saya tambahkan bahwa hal ini tidak berarti orang agnostik pasti penganut materialis. Banyak orang-orang agnostik (termasuk saya sendiri) sangat ragu pada tubuh sebagaimana ketidak-tahuan mengenai jiwanya, namun ini adalah cerita lama untuk mempertimbangkan metafisik yang sulit ini. Baik jiwa maupun materi harus saya katakan adalah simbol yang mudah dalam satu diskursus, sebenarnya bukan sesuatu yang eksis.
Apakah orang agnostik percaya Akhirat, Surga atau Neraka?
Pertanyaan mengenai apakah orang akan hidup setelah mati adalah pertanyaan mengenai bukti mana yang memungkinkan. Riset fisika dan spiritualisme dianggap oleh banyak orang dapat memberikan buktinya. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan mengenai kelangsungan jiwa kecuali dianggapnya ada bukti yang serba sedikit-pun. Menurut pandangan saya sendiri, saya anggap tidak ada alasan memadai untuk mempercayai bahwa kita akan hidup lagi setelah mati, namun saya terbuka untuk percaya jika ada bukti yang memadai.
Surga atau neraka adalah hal lain lagi. Percaya pada adanya neraka terikat pada adanya kepercayaan bahwa hukuman pembalasan artas dosa adalah hal yang baik, sangat terpisah dari tujuan pencegahan atau perbaikan yang mungkin dapat diberikan. Orang agnostik hampir tak percaya akan hal ini. Sehubungan dengan surga, barangkali ada bukti yang dapat diraba dengan eksistensinya melalui spiritualisme, namun kebanyakan orang-orang agnostik menganggap tidak ada bukti demikian, dan oleh karenanya tidak mempercayai adanya surga.
Apakah anda tak pernah takut pada pembalasan Allah karena menolak Allah dan Rasulnya?
Tentu tidak. Saya juga menolak Zeus dan Jupiter dan Odin, Syiwa dan Brahma, namun hal ini tidak menyebabkan kebingungan/ keraguan bagi saya. Saya perhatikan bahwa sebagian besar dari ummat manusia tidak percaya Allah. Ternyata mereka tidak menderita hukuman yang nyata karenanya. Dan jika memang ada Allah, saya kira Allah itu tidak akan merasa tak nyaman karena ditolak eksistensinya. Apalagi tak mengakui utusannya, maka si pengaku utusan itu sendirilah yang berjiwa kerdil jika ia marah-marah karena dianggap berdusta sehingga ia mengancam orang yang tak mempercayainya dengan mengatas-namakan Allah. Apalagi jika si pesuruh/nabi itu mencap mereka dengan kata-kata kafir, najis, ahli neraka, musuh Allah, harus dibunuh dsb.
Bagaimana Orang Agnostik menerangkan keindahan dan harmoni Alam?
Saya tak tahu dimana ketemunya “keindahan” dan “harmoni”. Dalam kelompok kerajaan binatang, binatang-binatang itu saling memakan. Kebanyakan dari mereka terbunuh dengan kejam oleh binatang lain atau mati pelan-pelan karena kelaparan. Menurut saya sendiri, saya tak bisa melihat keindahan luar biasa atau harmoni dalam diri Cacing Pita. Janganlah dikatakan bahwa binatang ini dikirim sebagai hukuman atas dosa-dosa kita, sebab binatang itu lebih banyak terdapat pada binatang dibandingkan manusia. Saya kira si penanya sedang memikirkan keindahan langit yang penuh bintang. Akan tetapi harus diingat bahwa bintang kadang meledak dan menghancurkan tetangga sekitarnya menjadi asap yang gelap. Keindahan, dalam segala hal adalah subyektif dan hanya ada di mata orang yang memandangnya saja.
Bagaimana Orang Agnostik menjelaskan mukjizat dan wahyu lain dari Allah YME?
Orang-orang agnostik beranggapan tidak ada bukti “mukjizat” dengan arti kejadian-kejadian yang bertentangan dengan Hukum Alam. Kita tahu bahwa penyembuhan dengan iman/keyakinan dapat terjadi dan sama sekali bukan mukjizat. Dengan berdzikir, penyakit tertentu dapat disembuhkan dan lainnya tidak dapat disembuhkan. Yang dapat tersembuhkan dapat saja disembuhkan oleh dokter manapun terhadap pasien yang percaya kepadanya. Menurut catatan mukjizat lain, seperti Muhammad yang naik ke lagit lapisan ke tujuh dalam Isra’ Mi’raj, bertemu Allah dan orang-orang yang sudah mati, orang agnostik menolaknya dan menganggap hanya legenda dan karangan saja yang menunjukkan bahwa semua agama penuh dengan legenda dan takhayul yang begitu. Sama banyaknya mukjizat yang ada pada dewa-dewa Yunani dalam cerita Homer seperti halnya cerita-cerita mukjizat dalam al Qur’an.
Banyak nafsu rendah dan jahat yang ditentang agama. Jika Anda meninggalkan prinsip-prinsip keagamaan, dapatkan umat manusia terus eksis?
Adanya nafsu rendah dan jahat tak dapat ditolak, tapi tak saya temui bukti dalam sejarah bahwa agama agama-agama telah menentang nafsu-nafsu tersebut. Sebaliknya, malah disucikan, dan memungkinkan orang untuk mentolerirnya tanpa rasa sesal. Hukuman kejam lebih umum terjadi dalam Islam dibandingkan tempat lainnya. Apa yang dapat membenarkan hukum mati adalah kepercayaan dogmatis. Keramahan dan toleransi hanya terjadi sejalan dengan berkurangnya kepercayaan dogmatis.
Dalam jaman kita sekarang, agama baru yang dogmatis, yakni Islam Fundamentalis telah muncul. Untuk itu, sebagaimana terhadap sistem dogma lainnya, orang agnostik menentangnya. Ciri hukum-menghukum dan terorisme Islam Fundamentalis jaman ini persis seperti Ciri hukum-menghukum Islam di abad-abad dahulu dan di negara-2 yang mayoritas berpenduduk Muslim. Dengan berlangsungnya waktu, Islam di beberapa negara kurang cenderung menghukum, ini adalah hasil kerja para penganut berfikir bebas yang menjadikan penganut dogmatis berkurang ke-dogmatisannya. Jika mereka tetap dogmatis seperti jaman dulu, mereka akan tetap menganggap benar membom, membunuh dan memenjarakan orang yang tak percaya. Semangat toleransi yang dianggap oleh penganut Islam modern sebagaimana Islam, pada kenyataannya merupakan produk moderasi yang memperkenankan ketidak-jelasan dan mencurigai kepastian absolut. Saya kira siapapun yang meneliti sejarah tanpa memihak akan menuju kesimpulan bahwa agama-agama telah mengakibatkan lebih banyak penderitaan dari pada yang telah diselamatkannya.
Apakah arti hidup bagi Orang Agnostik?
Saya cenderung menjawabnya dengan pertanyaan lain: Apa maksudnya “arti hidup” ? Saya kira itu adalah apa yang dimaksudkan sebagai tujuan umum. Saya tidak menganggap bahwa hidup itu ada tujuannya. Cuma asal terjadi saja. Tetapi tiap individu memiliki tujuan hidup tertentu, dan tak ada alasan dalam agnostisisme untuk meninggalkan tujuan-tujuan hidup ini. Tentu mereka tidak pasti yakin akan dapat mencapai hasil yang diusahakannya; namun anda akan menganggap gila jika seorang tentara menolak tugas bertempur sampai ia yakin pasti menang. Orang yang memerlukan agama untuk menekankan tujuan hidupnya sendiri adalah orang yang ketakutan, dan saya tidak dapat menanggapnya pula sebagai orang yang mencari jalan aman, meski mengakui juga bahwa kekalahan bukan merupakan hal yang tak mungkin.
Apakah penolakan terhadap agama berarti penolakan terhadap perkawinan dan kesetiaan?
Lagi, hal ini akan dijawab dengan pertanyaan: Apakah orang yang mempertanyakan ini percaya bahwa perkawianan dan kesetiaan dapat meningkatkan kebahagiaan di dunia, atau apakah ia mengaanggap bahwa perkawinan dan kesetiaan itu, meski menyebabkan kseusahan di dunia, dipakai sebagai alat mencapai surga? Orang yang mengambil pandangan terakhir jelas tak dapat mengharapkan agnostisisme akan menyebabkan menurunnya moralitas, namun harus kita akui bahwa moralitas adalah sebab utama adanya kebahagiaan umat manusia dalam kehidupannya di dunia. Jika sebaliknya ia mengambil pandangan pertama yaitu bahwa ada argumen yang membumi untuk perkawinan dan kesetiaan, harus juga diyakininya bahwa argumen-argumen ini mesti meyakinkan juga bagi orang agnostik. Orang agnostik dengan demikian tidak mempunyai pandangan berbeda mengenai moralitas seksual. Akan tetapi kebanyakan akan mengakui bahwa, ada argumen yang shahih untuk menentang toleransi terhadap nafsu seksual tanpa kendali. Namun demikian, akan mendasarkan argumen ini pada sumber-sumber membumi yang jelas dan bukan berdasarkan dugaan perintah keIlahian.
Apakah keimanan karena logika saja merupakan kepercayaan yang berbahaya?
Bukankah logika tidak sempurna dan tidak memadai tanpa hukum spiritual dan moral? Tak seorangpun yang mau memakai otak meski ia agnostik, “hanya mengimani logika saja”. Logika berkaitan dengan kenyataan, sebagian teramati, sebagian lagi disimpulkan. Pertanyaan apakah ada kehidupan masa depan dan pertanyaan apakah ada Allah berkaitan dengan kenyataan, dan orang agnostik percaya bahwa pertanyaan-pertanyaan itu harus diselidiki mirip dengan pertanyaan, “Apakah akan ada gerhana rembulan besok?” Namun kenyataan saja tidak cukup untuk menentukan tindakan, karena tidak diberitahukan apa tujuan yang harus kita capai. Dalam wilayah tujuan-tujuan, kita memerlukan hal lain selain logika. Orang agnostik menemukan tujuan dalam hatinya sendiri dan bukan dalam perintah dari luar. Coba kita ambil contoh: Misalkan Anda ingin bepergian dengan kereta api dari Jakarta ke Surabaya; Anda akan menggunakan logika untuk mengetahui kapan kereta api berangkat, dan orang yang mengira bahwa ia punya kemampuan mengetahui atau intuisi yang menyuruhnya agar menyesuaikan dengan jadwal akan dianggap agak bodoh. Namun tak ada jadwal yang akan memberitahu bahwa pergi ke Surabaaya adalah bijaksana. Jelas dalam menentukan apakah hal itu bijaksana, ia mesti memperhitungkan fakta-fakta lain; namun dibalik segala fakta, ada tujuan yang dianggapnya cocok untuk diusahakan, dan bagi orang agnostik sebagaimana orang-orang lain, hal-hal ini termasuk dalam wilayah yang bukan wilayah logika, meski tidak harus bertentangan sama sekali dengan logika. Wilayah yang saya maksudkan adalah emosi dan perasaan dan keinginan.
Apakah anda menganggap semua agama sebagai bentuk takhayul atau dogma? Agama-agama mana yang Anda hormati, dan mengapa?
Semua agama besar dan terorganisir yang mendominasi umat manusia sedikit banyak mengandung dogma, tetapi “agama” adalah kata yang maknanya tidak pasti. Sebagai contoh Khonghucu dapat disebut agama, meski tidak mengandung dogma. Dan dalam beberapa bentuk kepercayaan Kristen, elemen dogma diperkecil sampai minim.
Dari agama-agama besar sepanjang sejarah, Saya lebih cenderung Buddhisme, terutama dalam bentuknya yang paling awal, sebab agama itu yang melibatkan hukuman paling minim.
Komunisme, seperti agnostisisme bertentangan dengan agama. Apakah orang-orang agnostik itu komunis?
Komunisme tidak menentang agama. Hanya menentang agama Kristen saja, sebagaimana agama Kristen itu juga ditentang oleh agama Islam dan Nabi Muhammad. Komunisme, paling tidak dalam bentuk yang diciptakan oleh pemerintah Soviet dan Partai Komunis, adalah suatu sistem dogma usang yang maut dan banyak melibatkan penghukuman. Oleh karena itu, tiap orang agnostik asli mesti menentangnya.
Apakah orang-orang agnostik menganggap sains dan agama tak mungkin bersahabat?
Jawabannya kembali pada apa yang dimaksud dengan “agama”. Jika hanya berarti sistem etika, agama dapat akrab dengan sains. Jika hanya berarti sistem dogma, yang dianggap sebagai MUTLAK BENAR, maka hal itu tidak cocok dengan semangat ilmiah/sains yang menolak diterimanya kenyataan tanpa bukti, dan juga menganggap bahwa kepastian mutlak jarang sekali tercapai.
Bukti apa yang dapat meyakinkan Anda bahwa Allah itu ada?
Saya kira jika saya dengar suara dari langit yang memprediksi segala sesuatu yang akan terjadi pada diri saya dalam waktu 24 jam mendatang, termasuk kejadian-kejadian yang sangat tidak mungkin, dan dan jika hal-hal itu terjadi betul, barangkali saya dapat diyakinkan paling tidak terhadap adanya intelegensia superhuman. Termasuk jika Anda tiba-2 kesurupan dan Anda menjadi mampu berbicara bahasa yang asing sama sekali, misalnya bahasa suku Aleut Eskimo di Kanada, atau bahasa Tarahumare, Amerika Selatan padahal anda tak pernah terekspos sama sekali dengan suku tersebut.
Dapat saya bayangkan bukti-bukti lain sejenis yang mungkin dapat meyakinkan saya, namun sampai kini setahu saya tak ada bukti demikian.
Disadur dan diadaptasi dari tulisan Bertrand Russel ‘What Is An Agnostic?’