oleh Setya Ananta Sis pada 20 Agustus 2010 pukul 20:30 ·
Kebanyakan orang senangdengan yang murah, kalau perlu yang gratis. Demikian pula mbah Uti.

Kadang Awang diajakbelanja oleh Uti ke pasar, bisa dipastikan waktu paling lama adalahmemilih-milih barang dan menawar harga barang yang sudah dipilihnya. Kadang Utimenawar begitu keras dan sudah meninggalkan si penjual, tapi setelah Uti agakjauh penjual itu memanggil Uti dan merelakan barang dagangannya untuk dibawa.Awang mengira, pasti Uti tidak sendiri, masih banyak orang yang seperti Uti.Manusia kebanyakan sama di dunia ini. Senang kalau dapat untung dan benci kalaumendapatkan kerugian. Semua orang bekerja demi mendapatkan keuntungan,bohonglah kalau bekerja bukan untuk mendapatkan keuntungan, entah berupa materiatau kepuasan batin, yang penting keuntungan. Kata-kata "Lillahi Ta'ala" puntak lepas dari motif ini, seseorang Muslim akan rela kalau Allah senang dengankerelaannya, artinya Allah diharapkan akan memberi imbalan yang sepadan ataumalah berlebih. Namun demikian, akan lebih menyenangkan kalau keuntungan itudiperoleh dengan gratis.

Awang ingat, sebelumpergi ke Banjarmasin dirinya masih sangat kecil, masih balita. Jadi ingatannyatentang peristiwa yang terjadi pada dirinya hanya dapat diingatnya secarasamar-samar saja. Tetapi ada peristiwa khusus yang masih agak jelas diingatnya.Klinik kesehatan di dekat kantor kecamatan memberikan susu kedelai gratis bagi anakBalita. Ia sering dibuatkan susu kedelai yang dicairkan dengan air hangat dangula pasir. Enak sekali rasanya dan menyegarkan.

Sewaktu masih balita,ia tinggal bersama bapak dan ibu di Malang, namun sering beberapa hari sekaliia diajak Uti pergi ke Kesamben. Mbak Anna juga kadang diajak, tetapi dialahyang secara rutin diajak ke kantor Kecamatan. Di klinik dekat kantor kecamatanbanyak orang menunggu dan mengantri untuk menimbang anak atau cucu balitanya.Waktu Uti mendapat giliran untuk menimbang Awang, baju Awang dicopot dan iadibaringkan di sebuah alat yang terasa dingin di punggungnya. Alat itudiketahuinya kemudian ternyata timbangan balita. Setelah itu Uti mengajaknyapulang dengan membawa sebuah bungkusan plastik. Mungkin itulah susu kedelaiyang biasa diminumnya di rumah. Demi mendapatkan susu kedelai gratis, jarakMalang-kesamben tidak dikeluhkan Uti.
Demikianlah, suatu hariketika pulang dari klinik kesehatan itu hari begitu panas. Awang mintadigendong Uti, mbak Anna dituntun dan mereka bertiga pulang ke rumah di Kauman.

Di hari yang panas terikitu, siapa yang menyangka bahwa tiba-tiba ada seorang gila yang hanya memakaicawat dan berambut gimbal tiba-tiba menarik Awang, merebutnya dari gendonganUti. Awang digendong dan diberi sepotong singkong goreng yang sempatdigigitnya, masih hangat, gurih sepertinya baru digoreng. Orang gila yang miripdalam filem boneka Unyil itu menangis dan memegangi jari-jari Awang sambilmengeluh,
"Aduh, sopo tosing  mrunthesi drijine anakku iki?"(Aduh siapa sih yang mengutungi jari-jari anakku?)
Uti panik dan mengejar"orang tua dan anak" itu, direbutnya si Awang, ditarik-tarik pinggangnya. Awangmerasa lehernya seperti memanjang karena orang gila itu memegangi kepalanya.Matanya hanya bisa melihat ke bawah, ke aspal jalan raya yang makin lama makinkabur ketika tarik menarik antara Uti dan orang gila itu makin menghebat.
Akhirnya Uti dapatmerampas Awang dari tangan orang gila itu. Orang gila itu menangis dan pergi,persis seperti dalam filem boneka Unyil, dimana ada orang gila yangberteriak-teriak "Dimana anakku? Dimana istriku?", tapi ia berteriak dalambahasa Jawa.

Uti menghardik "Pergi-pergi", lalu beralih ke Awang "Buang,buang!!" sambil merampas singkong goreng yang sudah tergigit sedikit itu kejalan raya. Singkong goreng yang dilemparkan ke jalan raya itu dikejar olehorang gila itu dan diambilnya lagi sambil ngeloyor pergi.
Awang melihat Utimatanya bergenang air mata dan mbak Anna wajahnya ketakutan. Buru-buru Utimemanggil beca, tanpa menawar disuruhnya mengantar ke Kauman.

Pelepah pisang dan daun kelapa merunduk,dedaunan kering luruh dan rumpun-rumpun bambu meranggas. Sawah dan hutan jati yangmengelilingi Dukuh Kauman Kunden dan Cobanteng kering dan gersang. Semuanya terjadikarena kemarau yang menggarang lama melebihi biasanya. Sekali turun hujan makasawah menghijau oleh tanaman padi, tunas-tunas daun jati dan palawija. Orang-orangketiga dukuh ikut berharap dapat panen, buruh menuai padi atau ngasak denganmemulung sisa jerami yang sudah dipanen dan mencari bulir-bulir yang tertinggal.Pemandangan menuju stasiun Kesamben dari Kauman seperti itu mengesankan bahwapenduduk di ketiga dukuh itu sama saja dengan daerah-daerah lain yang gersang.

Keesokan harinya Utimengantar Awang dan mbak Anna ke Malang, ia menumpang kereta api dari stasiunKesamben. Tak pernah dilihatnya Uti membeli tiket atau karcis. Jika kondekturmemeriksa, Uti hanya bilang "Murdowo.." Maka kondektur itu hanya lewat sajatanpa mempermasalahkan penumpang tanpa karcis setelah mendengar 'mantera sakti'tersebut. Awang baru tahu jauh dikemudian hari bahwa para pegawai kereta api(kala itu PNKA) sama-sama bersepakat untuk membebaskan anggota keluarganyauntuk tidak membayar tiket jika mereka menumpang di kereta api. Rupanya"Mudowo" tersebut adalah nama ayah mas Deddy pemain volley ball yang jugamerupakan pasangan team pak lik Halid. Ayah mas Deddy ini karyawan PNKA dansalah satu adik laki-lakinya kini menjadi teman sebangku Awang di sekolah.
Entah apa urutan keluarga pak lik Mur ini dengan keluarga Uti. Katanya dariMbah Yut Kesamben, dan jika diurutkan, ketemunya Awang memanggil pak Lik kepadapak Murdowo, dan memanggil 'adik' kepada mas Deddy yang jauh lebih tua darinya.Entah berapa belas atau likur tahun.

Akhirnya kata-kata"Murdowo" itu menjadi mantera sakti untuk mengusir kondektur yang menagih tiketkereta api dari Malang-Blitar atau sebaliknya. Bukan saja bagi Uti, beberapapak lik dan bulik juga menggunakan kata-kata sakti itu untuk menghemat biaya.Mas Roel, mbak Anna dan Awang juga tergoda untuk menerapkan "kata sakti" itunantinya kalau naik kereta api. Terkecuali pak lik Gofur, beliau merasa malumengetahui praktik yang tidak sehat itu. Hal itu pernah dikatakannya kepadaAwang di Jakarta ketika ia pertama kali menginjak Jakarta dan menginap dirumahpak lik Gofur... yang juga dengan . . . .gratis...!